Sabtu, 27 November 2010

Kisah Tiga Ibu

Judul: MOTHER AND CHILD
Sutradara: Rodrigo Garcia
Skenario: Rodrigo Garcia
Pemain: Annette Benning, Naomi Watts
 


Ini kisah tiga (calon) ibu dalam tiga cerita yang berbeda tapi sama. Karen (Annette Bening) di usianya yang ke-51 tahun adalah seorang perempuan yang keras, kasar, dingin, dan pemarah karena sebuah "lubang" di tubuhnya yang tak pernah terisi. "Lubang" itu seharusnya diisi oleh anak perempuannya yang lahir ketika Karen berusia 14 tahun. Di masa lalu, ia dipaksa ibunya untuk menyerahkan anaknya ke agen adopsi. Maka lubang itu menghiasi hidupnya yang hanya diabdikan untuk mengurus ibunya, tanpa cinta, tanpa ambisi apa-apa kecuali kerinduan pada anaknya yang tak dikenalnya melalui surat yang tak pernah bisa dikirimkan ke mana pun.

Nun di pojok lain, sang anak sudah berusia 37 tahun bernama Elizabeth (Naomi Watts) dan dikenal sebagai pengacara terkemuka yang selalu menang segala perkara, dingin, tegas, dan gemar meniduri lelaki mana saja yang dia inginkan. Hidupnya tampak begitu mudah, hingga suatu hari dia hamil di luar rencana.

Calon ibu ketiga adalah Lucy (Kerry Washington), yang tak mampu mempunyai anak dan mengejar keinginannya-sembari menyeret suaminya yang ogah-ogahan-dengan mendaftarkan diri untuk mengangkat anak dari ibu remaja yang rela melepas bayinya.

Sutradara Rodrigo Garcia, putra sastrawan Gabriel Garcia (sebelumnya dikenal karyanya melalui beberapa episode serial In Treatment, film Things You Can Tell Just by Looking at Her, dan Nine Lives), mengemas ketiga segmen ini dengan suasana muram, dialog yang minim, dan kepedihan yang tampil melalui ekspresi. Ketiga perempuan ini melalui tragedi saat usia mereka masih dini, sedangkan penonton melihat akibat tragedi itu. Sosok-sosok yang keras, kasar, marah pada dunia. Namun para aktris (terutama Annette Bening) memperlihatkan perubahan. Tokoh Paco (Jimmy Smits), yang sabar dan komikal, perlahan mengisi "lubang" dalam diri Karen dengan menyarankan dia untuk mencari putrinya. Ratu es Elizabeth yang berhubungan dengan bosnya, Paul (Samuel L. Jackson), perlahan meleleh karena kebaikan hati Paul dan juga karena kehamilannya, meski hingga akhir film kita tak pernah tahu apakah Paul menyadari kehamilan Elizabeth.

Garcia adalah sutradara yang pandai menyalakan adegan emosi dari segala yang tersirat. Ingat bagaimana serial In Treatment yang selalu menyajikan adegan tanya-jawab sang psikiater dan pasiennya di dalam ruang kerjanya. Bayangkanlah satu jam yang isinya "hanya" pembicaraan dua orang, tetapi ternyata sangat menguras emosi kita. Garcia selalu mampu mengarahkan bagaimana kata-kata maupun yang tak terkatakan itu membangun emosi yang berakhir dengan ledakan.

Film Mother and Child, meski beberapa bagian harus lebih diperketat, juga memiliki kekuatan seperti serial In Treatment. Keterlibatan kita pada ketiga (calon) ibu yang mencari sesuatu yang "hilang" dalam dirinya adalah perjalanan mental yang menyesakkan. Ketika Karen akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Elizabeth dan saat Elizabeth akhirnya memutuskan bertemu ibunya, Garcia memilih pada takdir (mereka yang sinis menyebutnya "ilmu kebetulan"). Beloknya akhir cerita ini mungkin akan mengecewakan mereka yang selalu ingin kebahagiaan. Tetapi "kebahagiaan" versi Garcia bukan sebuah tujuan. "Kebahagiaan" itu justru terjadi pada saat dia mampu memutuskan untuk menemui anaknya. Pencerahan seperti itu sebuah penemuan "harta karun" dalam kehidupan yang begitu sulit.

(Dari Majalah TEMPO Edisi 25 Oktober 2010)





DVD Film "Mother and Child" telah tersedia di  DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ]












                                      Sang Pembunuh di Dalam Istana


Judul: Detective Dee and the Mystery of the Phantom Flame
Sutradara: Tsui Hark
Skenario: Zhang Jialu, Chen Kuo-fu, Robert van Gulik
Pemain: Andy Lau, Carina Lau, Li Bingbing, Tony Leung Ka-fai



Cina, tahun 690 M.

Menjelang penobatan Maharani Wu sebagai kaisar perempuan pertama-dan satu-satunya-dalam sejarah Cina, terjadi beberapa peristiwa aneh. Dengan persiapan besar dan pembangunan patung Buddha, tiba-tiba saja, beberapa petinggi tewas. Peristiwa itu terjadi berturut-turut: ganjil dan mengerikan. Tubuh mereka begitu saja terbakar dan hangus menyisakan setumpuk abu.

Syahdan, Maharani Wu (Carina Lau) menugasi Detektif Dee (Andy Lau), seorang detektif yang dipenjara selama delapan tahun dengan tuduhan berkhianat kepada negara. Seperti tokoh detektif di zaman modern, tentu saja Dee tak populer di antara para petinggi (lelaki) yang tergiur akan satu hal: menumbangkan kekuasaan sang Maharani, karena mereka tak sudi dipimpin seorang perempuan. Hanya beberapa menit setelah dia diangkat sebagai investigator, ribuan panah menghajarnya.

Detektif Dee didampingi oleh Shangguan Wan'er (Li Bingbing), orang kepercayaan Maharani Wu, dan juga Pei Donglai (Chao Deng). Dee memulai investigasinya dengan gaya khas seorang detektif klasik: mencurigai orang-orang terdekat sang penguasa, termasuk Shangguan, perempuan cantik kepercayaan Maharani yang tangkas bertempur tapi jago merayu di tempat tidur.

Yang menarik dari film terbaru sutradara Tsui Hark ini, setiap langkah Detektif Dee melibatkan wuxia; tentu saja ada bantuan teknik CGI, tapi kelebatan dan libasan martial art Cina itu tetap menjadi daya tarik. Plot cerita yang berpusar pada "siapa yang mendalangi rangkaian pembunuhan" ini juga menggunakan teknik klasik: penonton tertipu dan dijebak ke beberapa titik dulu. Pembunuh sesungguhnya selalu dia yang tak disangka dan tampak baik hati pada awal cerita. Munculnya berbagai makhluk, seperti rusa yang mampu meramal atau manusia berwajah keledai, membuat film ini menjelma jadi ramuan thriller beraroma fantasi.

Carina Lau sebagai sang Maharani tak digarap sebagai seorang petarung seperti yang biasa kita lihat dalam film-film sebelumnya. Dia tampil anggun dan dingin. Sinar yang terpancar dari ekspresinya bukan kecantikan seorang dewi, melainkan kecemasan seorang perempuan yang kekuasaannya selalu didera musuh-musuhnya hanya karena persoalan gender. Sedangkan Andy Lau, dibanding penampilannya dalam House of Flying Daggers, dalam film ini tak memiliki ruang untuk lebih dramatik.

Pada akhirnya, setelah keberhasilan film Crouching Tiger, Hidden Dragon (Ang Lee) serta Hero dan House of Flying Daggers (Zhang Yimou), film-film silat Cina yang ingin melibatkan kedahsyatan dan keindahan wuxia menjadi epigon yang belum bisa mengulang-apalagi menandingi-gebrakan Ang Lee. Bukan hanya persoalan bagaimana martial art bisa disajikan seperti butir-butir puisi, tapi juga bagaimana membuat cerita dongeng masa lalu itu bisa tetap relevan dan melibatkan persoalan politik dan intrik istana dengan menarik.

Plot film ini-ditulis oleh tiga orang-sudah memberikan sesuatu yang menjanjikan: upaya makar di dalam Kekaisaran Cina dan mengendus dalangnya. Tapi membangun keingintahuan dan ketegangan tidak cuma membutuhkan kemampuan menggarap adegan perkelahian yang dahsyat, tapi juga memerlukan ketelitian menggabungkan cerita dan martial art dengan gambar (yang menarik dan relevan). Dalam hal ini, Tsui Hark berada di belakang Ang Lee dan Zhang Yimou.



(Dari Majalah TEMPO Edisi 15 November 2010)




DVD Film "Detective Dee and the Mystery of the Phantom Flame " telah tersedia di  DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ] 














                                         Cerita { yang berbeda } tentang Para Polisi




 Judul: Brooklyn's Finest
Sutradara: Antoine Fuqua
Skenario: Michael C. Martin
Pemain: Richard Gere, Don Cheadle, Ethan Hawke, Wesley Snipes, Lili Taylor, Ellen Barkin


Di hari ketujuh sebelum pensiun dari kepolisian, Edward Dugan (Richard Gere) meraih botol wiski; menenggaknya, lalu meletakkan pistol ke dalam mulutnya. Dia tahu, sebagai polisi yang sudah berusia senja, atasannya menganggap dia berprestasi sedang-sedang saja; tak istimewa dan tak juga punya bakat kepemimpinan. Karena itu, "latihan bunuh diri" adalah sebuah sarapan pagi, ditemani botol wiski. Masih ada tujuh hari lagi, gumam Edward.

Tango (Don Cheadle) ada di sarang mafia narkoba yang dipimpin Caz ( Wesley Snipes). Nama asli Tango adalah detektif Clarence Butler. Tapi dia sendiri sering lupa apakah dia bagian dari geng yang berumah dan bermobil mewah atau dia seorang detektif. Itulah sebabnya dia ngotot agar Letnan Bill Hobarts (Will Patton) segera melepas dia dari tugas penyamaran. Tapi Letnan Bill dan bos Smith (Ellen Barkin) masih memberinya satu tugas terakhir sebelum Tango dinaikkan pangkatnya: mencari bukti konkret agar bisa menangkap Caz, yang kini sudah seperti abang baginya.

Seorang polisi di departemen narkotik bernama detektif Salvatore Procida (Ethan Hawke) adalah seorang ayah dari tujuh anak dan istri yang masih hamil, dan sepanjang film selalu saja batuk-batuk karena menderita asma. Sal, seorang ayah dan suami yang sangat protektif, kemudian mencari duit dengan menggaruk uang kotor yang disita dari para mafia narkoba.

Kisah tiga polisi Brooklyn-bagian dari New York-ini langsung saja dilempar ke layar, tanpa pretensi, tanpa banyak basa-basi. Ketiganya tak saling mengenal dan mempunyai problem masing-masing. Sutradara Antoine Fuqua-yang berhasil menggi ring Denzel Washington ke panggung Academy Oscar untuk perannya dalam film Training Day-kali ini bercerita tentang para polisi yang bersih, polisi yang kotor, dan polisi yang berada di kawasan kelabu.

Adegan cepat berlangsung, dari satu polisi ke polisi lain; dari satu penjahat ke penjahat yang lain hingga ketiga problem itu saling menerobos begitu saja. Tapi kita bisa merasakan ketegangan yang absolut setiap kali ketiga polisi itu mulai mengucapkan justifi kasi untuk melanggar hukum.

Richard Gere, sebagai polisi yang sudah mencapai usia pensiun dan merasa hidup adalah beban yang begitu banal, kini tampil sangat berbeda dengan polisi jahat yang dia sajikan dalam film Internal Affairs (Mike Figgis, 1990). Ia adalah sosok yang lelah dan merasa tak ada satu makhluk pun yang menghargai hidupnya yang jujur. Bahkan istrinya pun meninggalkannya. Akhir masa kerjanya dihabiskan untuk me ngunjungi pelacur-satu-satunya yang memperlakukannya sebagai seorang manusia.

Ethan Hawke, yang tampil sebagai polisi baru dalam film Training Day beberapa tahun silam, kini justru berhasil menjadi detektif kotor yang sama sekali tak merasa bersalah terkait dengan korupsi karena kebutuhannya membeli rumah.

Dibanding film Antoine Fuqua sebelumnya, Training Day, yang sangat tajam, fokus, dan menegangkan, film ini terlalu penuh dengan ambisi subplot yang bertebaran. Penuh dengan bintang ternama, tokoh baik, tokoh jahat, serta plot dan subplot yang berseliweran, yang mencapai titik jenuh. Akhir film ini masih memberikan daya kejut, tapi sutradara memiliki problem pada penggarapan di tengah film. Terkadang, jika kita mengurangi tokoh dan sub plot, malah semakin baik.

Namun intensitas Fuqua di setiap karyanya selalu menjadi keistimewa annya. Ini adalah kisah para polisi yang sangat realistis, yang terjadi di negara yang nun jauh di sana. Kisah tentang polisi yang korup dan brutal sajian Fuqua ini terasa akrab bagi siapa pun. Juga bagi kita, di Indonesia.

(Dari Majalah TEMPO Edisi 12 Juli 2010)





 




DVD Film "Brooklyn's Finest" telah tersedia di  DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar