Judul: MOTHER AND CHILD
Sutradara: Rodrigo Garcia
Skenario: Rodrigo Garcia
Pemain: Annette Benning, Naomi Watts
Ini kisah tiga (calon) ibu dalam tiga cerita yang berbeda tapi sama. Karen (Annette Bening) di usianya yang ke-51 tahun adalah seorang perempuan yang keras, kasar, dingin, dan pemarah karena sebuah "lubang" di tubuhnya yang tak pernah terisi. "Lubang" itu seharusnya diisi oleh anak perempuannya yang lahir ketika Karen berusia 14 tahun. Di masa lalu, ia dipaksa ibunya untuk menyerahkan anaknya ke agen adopsi. Maka lubang itu menghiasi hidupnya yang hanya diabdikan untuk mengurus ibunya, tanpa cinta, tanpa ambisi apa-apa kecuali kerinduan pada anaknya yang tak dikenalnya melalui surat yang tak pernah bisa dikirimkan ke mana pun.
Nun di pojok lain, sang anak sudah berusia 37 tahun bernama Elizabeth (Naomi Watts) dan dikenal sebagai pengacara terkemuka yang selalu menang segala perkara, dingin, tegas, dan gemar meniduri lelaki mana saja yang dia inginkan. Hidupnya tampak begitu mudah, hingga suatu hari dia hamil di luar rencana.
Calon ibu ketiga adalah Lucy (Kerry Washington), yang tak mampu mempunyai anak dan mengejar keinginannya-sembari menyeret suaminya yang ogah-ogahan-dengan mendaftarkan diri untuk mengangkat anak dari ibu remaja yang rela melepas bayinya.
Sutradara Rodrigo Garcia, putra sastrawan Gabriel Garcia (sebelumnya dikenal karyanya melalui beberapa episode serial In Treatment, film Things You Can Tell Just by Looking at Her, dan Nine Lives), mengemas ketiga segmen ini dengan suasana muram, dialog yang minim, dan kepedihan yang tampil melalui ekspresi. Ketiga perempuan ini melalui tragedi saat usia mereka masih dini, sedangkan penonton melihat akibat tragedi itu. Sosok-sosok yang keras, kasar, marah pada dunia. Namun para aktris (terutama Annette Bening) memperlihatkan perubahan. Tokoh Paco (Jimmy Smits), yang sabar dan komikal, perlahan mengisi "lubang" dalam diri Karen dengan menyarankan dia untuk mencari putrinya. Ratu es Elizabeth yang berhubungan dengan bosnya, Paul (Samuel L. Jackson), perlahan meleleh karena kebaikan hati Paul dan juga karena kehamilannya, meski hingga akhir film kita tak pernah tahu apakah Paul menyadari kehamilan Elizabeth.
Garcia adalah sutradara yang pandai menyalakan adegan emosi dari segala yang tersirat. Ingat bagaimana serial In Treatment yang selalu menyajikan adegan tanya-jawab sang psikiater dan pasiennya di dalam ruang kerjanya. Bayangkanlah satu jam yang isinya "hanya" pembicaraan dua orang, tetapi ternyata sangat menguras emosi kita. Garcia selalu mampu mengarahkan bagaimana kata-kata maupun yang tak terkatakan itu membangun emosi yang berakhir dengan ledakan.
Film Mother and Child, meski beberapa bagian harus lebih diperketat, juga memiliki kekuatan seperti serial In Treatment. Keterlibatan kita pada ketiga (calon) ibu yang mencari sesuatu yang "hilang" dalam dirinya adalah perjalanan mental yang menyesakkan. Ketika Karen akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Elizabeth dan saat Elizabeth akhirnya memutuskan bertemu ibunya, Garcia memilih pada takdir (mereka yang sinis menyebutnya "ilmu kebetulan"). Beloknya akhir cerita ini mungkin akan mengecewakan mereka yang selalu ingin kebahagiaan. Tetapi "kebahagiaan" versi Garcia bukan sebuah tujuan. "Kebahagiaan" itu justru terjadi pada saat dia mampu memutuskan untuk menemui anaknya. Pencerahan seperti itu sebuah penemuan "harta karun" dalam kehidupan yang begitu sulit.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 25 Oktober 2010)
DVD Film "Mother and Child" telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ]
Sang Pembunuh di Dalam Istana
Judul: Detective Dee and the Mystery of the Phantom Flame
Sutradara: Tsui Hark
Skenario: Zhang Jialu, Chen Kuo-fu, Robert van Gulik
Pemain: Andy Lau, Carina Lau, Li Bingbing, Tony Leung Ka-fai
Cina, tahun 690 M.
Menjelang penobatan Maharani Wu sebagai kaisar perempuan pertama-dan satu-satunya-dalam sejarah Cina, terjadi beberapa peristiwa aneh. Dengan persiapan besar dan pembangunan patung Buddha, tiba-tiba saja, beberapa petinggi tewas. Peristiwa itu terjadi berturut-turut: ganjil dan mengerikan. Tubuh mereka begitu saja terbakar dan hangus menyisakan setumpuk abu.
Syahdan, Maharani Wu (Carina Lau) menugasi Detektif Dee (Andy Lau), seorang detektif yang dipenjara selama delapan tahun dengan tuduhan berkhianat kepada negara. Seperti tokoh detektif di zaman modern, tentu saja Dee tak populer di antara para petinggi (lelaki) yang tergiur akan satu hal: menumbangkan kekuasaan sang Maharani, karena mereka tak sudi dipimpin seorang perempuan. Hanya beberapa menit setelah dia diangkat sebagai investigator, ribuan panah menghajarnya.
Detektif Dee didampingi oleh Shangguan Wan'er (Li Bingbing), orang kepercayaan Maharani Wu, dan juga Pei Donglai (Chao Deng). Dee memulai investigasinya dengan gaya khas seorang detektif klasik: mencurigai orang-orang terdekat sang penguasa, termasuk Shangguan, perempuan cantik kepercayaan Maharani yang tangkas bertempur tapi jago merayu di tempat tidur.
Yang menarik dari film terbaru sutradara Tsui Hark ini, setiap langkah Detektif Dee melibatkan wuxia; tentu saja ada bantuan teknik CGI, tapi kelebatan dan libasan martial art Cina itu tetap menjadi daya tarik. Plot cerita yang berpusar pada "siapa yang mendalangi rangkaian pembunuhan" ini juga menggunakan teknik klasik: penonton tertipu dan dijebak ke beberapa titik dulu. Pembunuh sesungguhnya selalu dia yang tak disangka dan tampak baik hati pada awal cerita. Munculnya berbagai makhluk, seperti rusa yang mampu meramal atau manusia berwajah keledai, membuat film ini menjelma jadi ramuan thriller beraroma fantasi.
Carina Lau sebagai sang Maharani tak digarap sebagai seorang petarung seperti yang biasa kita lihat dalam film-film sebelumnya. Dia tampil anggun dan dingin. Sinar yang terpancar dari ekspresinya bukan kecantikan seorang dewi, melainkan kecemasan seorang perempuan yang kekuasaannya selalu didera musuh-musuhnya hanya karena persoalan gender. Sedangkan Andy Lau, dibanding penampilannya dalam House of Flying Daggers, dalam film ini tak memiliki ruang untuk lebih dramatik.
Pada akhirnya, setelah keberhasilan film Crouching Tiger, Hidden Dragon (Ang Lee) serta Hero dan House of Flying Daggers (Zhang Yimou), film-film silat Cina yang ingin melibatkan kedahsyatan dan keindahan wuxia menjadi epigon yang belum bisa mengulang-apalagi menandingi-gebrakan Ang Lee. Bukan hanya persoalan bagaimana martial art bisa disajikan seperti butir-butir puisi, tapi juga bagaimana membuat cerita dongeng masa lalu itu bisa tetap relevan dan melibatkan persoalan politik dan intrik istana dengan menarik.
Plot film ini-ditulis oleh tiga orang-sudah memberikan sesuatu yang menjanjikan: upaya makar di dalam Kekaisaran Cina dan mengendus dalangnya. Tapi membangun keingintahuan dan ketegangan tidak cuma membutuhkan kemampuan menggarap adegan perkelahian yang dahsyat, tapi juga memerlukan ketelitian menggabungkan cerita dan martial art dengan gambar (yang menarik dan relevan). Dalam hal ini, Tsui Hark berada di belakang Ang Lee dan Zhang Yimou.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 15 November 2010)
DVD Film "Detective Dee and the Mystery of the Phantom Flame " telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ]
Cerita { yang berbeda } tentang Para Polisi
Judul: Brooklyn's Finest
Sutradara: Antoine Fuqua
Skenario: Michael C. Martin
Pemain: Richard Gere, Don Cheadle, Ethan Hawke, Wesley Snipes, Lili Taylor, Ellen Barkin
Di hari ketujuh sebelum pensiun dari kepolisian, Edward Dugan (Richard Gere) meraih botol wiski; menenggaknya, lalu meletakkan pistol ke dalam mulutnya. Dia tahu, sebagai polisi yang sudah berusia senja, atasannya menganggap dia berprestasi sedang-sedang saja; tak istimewa dan tak juga punya bakat kepemimpinan. Karena itu, "latihan bunuh diri" adalah sebuah sarapan pagi, ditemani botol wiski. Masih ada tujuh hari lagi, gumam Edward.
Tango (Don Cheadle) ada di sarang mafia narkoba yang dipimpin Caz ( Wesley Snipes). Nama asli Tango adalah detektif Clarence Butler. Tapi dia sendiri sering lupa apakah dia bagian dari geng yang berumah dan bermobil mewah atau dia seorang detektif. Itulah sebabnya dia ngotot agar Letnan Bill Hobarts (Will Patton) segera melepas dia dari tugas penyamaran. Tapi Letnan Bill dan bos Smith (Ellen Barkin) masih memberinya satu tugas terakhir sebelum Tango dinaikkan pangkatnya: mencari bukti konkret agar bisa menangkap Caz, yang kini sudah seperti abang baginya.
Seorang polisi di departemen narkotik bernama detektif Salvatore Procida (Ethan Hawke) adalah seorang ayah dari tujuh anak dan istri yang masih hamil, dan sepanjang film selalu saja batuk-batuk karena menderita asma. Sal, seorang ayah dan suami yang sangat protektif, kemudian mencari duit dengan menggaruk uang kotor yang disita dari para mafia narkoba.
Kisah tiga polisi Brooklyn-bagian dari New York-ini langsung saja dilempar ke layar, tanpa pretensi, tanpa banyak basa-basi. Ketiganya tak saling mengenal dan mempunyai problem masing-masing. Sutradara Antoine Fuqua-yang berhasil menggi ring Denzel Washington ke panggung Academy Oscar untuk perannya dalam film Training Day-kali ini bercerita tentang para polisi yang bersih, polisi yang kotor, dan polisi yang berada di kawasan kelabu.
Adegan cepat berlangsung, dari satu polisi ke polisi lain; dari satu penjahat ke penjahat yang lain hingga ketiga problem itu saling menerobos begitu saja. Tapi kita bisa merasakan ketegangan yang absolut setiap kali ketiga polisi itu mulai mengucapkan justifi kasi untuk melanggar hukum.
Richard Gere, sebagai polisi yang sudah mencapai usia pensiun dan merasa hidup adalah beban yang begitu banal, kini tampil sangat berbeda dengan polisi jahat yang dia sajikan dalam film Internal Affairs (Mike Figgis, 1990). Ia adalah sosok yang lelah dan merasa tak ada satu makhluk pun yang menghargai hidupnya yang jujur. Bahkan istrinya pun meninggalkannya. Akhir masa kerjanya dihabiskan untuk me ngunjungi pelacur-satu-satunya yang memperlakukannya sebagai seorang manusia.
Ethan Hawke, yang tampil sebagai polisi baru dalam film Training Day beberapa tahun silam, kini justru berhasil menjadi detektif kotor yang sama sekali tak merasa bersalah terkait dengan korupsi karena kebutuhannya membeli rumah.
Dibanding film Antoine Fuqua sebelumnya, Training Day, yang sangat tajam, fokus, dan menegangkan, film ini terlalu penuh dengan ambisi subplot yang bertebaran. Penuh dengan bintang ternama, tokoh baik, tokoh jahat, serta plot dan subplot yang berseliweran, yang mencapai titik jenuh. Akhir film ini masih memberikan daya kejut, tapi sutradara memiliki problem pada penggarapan di tengah film. Terkadang, jika kita mengurangi tokoh dan sub plot, malah semakin baik.
Namun intensitas Fuqua di setiap karyanya selalu menjadi keistimewa annya. Ini adalah kisah para polisi yang sangat realistis, yang terjadi di negara yang nun jauh di sana. Kisah tentang polisi yang korup dan brutal sajian Fuqua ini terasa akrab bagi siapa pun. Juga bagi kita, di Indonesia.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 12 Juli 2010)
DVD Film "Brooklyn's Finest" telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ]
Menjual dan Menyewakan [Sale and Rental] DVD dan VCD Film Single/Movie, Serial Asia (Korea, Jepang, Mandarin), Barat, dll juga DVD dan VCD Musik jenis apapun. Kami Bukan Yang Terbesar dan Terlengkap,Tetapi Kami Berusaha Memberikan Yang Terbaik SMS : - E-mail : franssimarmata@ymail.com - nicosmart66@gmail.com - Facebook : http://facebook.com/frans.guevara - http://www.facebook.com/pages/Dream-Vision-Home-Video/140502155985715
Sabtu, 27 November 2010
Jumat, 26 November 2010
Animasi : Karena Penjahat Juga Manusia
Judul: Despicable Me
Skenario: Ken Daurio, Cinco Paul
Sutradara: Pierre Coffin, Chris Renaud, Sergio Pablos
Pemain: Steve Carell, Jason Segel, Russell Brand, Will Arnett, Kristen Wiig, Danny McBride, Miranda Cosgrove
Dunia gempar. Piramida Giza di Mesir yang termasyhur itu mendadak hilang. Seorang pencuri mengambilnya dan menggantinya dengan balon udara yang berwujud persis piramida aslinya. Kabar itu membuat Gru uring-uringan. Lelaki berwajah penguin ini merasa pamornya sebagai maling kelas wahid terancam. Kesuksesannya mencuri layar LED di Times Square menjadi tak berarti apa-apa. Dia makin dongkol setelah tahu pelaku pencurian piramida itu seorang pemuda bernama Vector, yang selama ini dianggap maling kelas teri.
Maka tercetuslah ide gila di kepalanya. Satu-satunya cara merebut predikat terbaik di dunia kriminal itu dia harus mencuri bulan. Dibantu tentara minion miliknya segerombol makhluk berbentuk kapsul mini berwarna kuning dengan penampilan dan tingkah laku jenaka dan asistennya, profesor jenius Nefario, Gru menyusun siasat. Mereka bakal meluncur ke bulan menggunakan roket. Supaya bulan gampang dibawa ke bumi, perkecil ukurannya hingga sebesar bola tenis.
Rencana itu hampir saja sukses ketika Gru mencuri mesin pengecil milik pemerintah. Mesin yang mampu membuat gajah menjadi sekecil tikus itu se suai dengan syarat Bank of Evil selaku penyandang dana tindakan kejahatan di dunia. Sayang, mesin itu dicuri lagi oleh Vector. Mati-matian Gru berusaha merebut kembali, tapi selalu gagal lantaran markas Vektor dilengkapi sistem pertahanan canggih.
Gru hampir menyerah ketika dilihatnya tiga bocah perempuan penjaja kue bisa dengan leluasa masuk ke markas besar Vector. Berpura-pura baik, Gru lalu memanfaatkan keluguan Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Elsie Fisher), tiga gadis yatim piatu penghuni panti asuhan yang lama mendambakan kehadiran seorang ayah.
Kisah si penjahat Gru yang tersaji dalam film animasi berbujet rendah (US$ 69 juta) ini debut pertama Universal's Illumination Entertainment, yang didirikan Chris Meledandri, mantan bos 20th Century Fox. Berpengalaman menggarap Ice Age dan The Simpson, Chris yang hengkang dari Fox pada 2007 percaya diri merilis Despicable Me dengan memanfaatkan teknologi tiga dimensi (3D), hampir bersamaan dengan pemutaran Shrek 4 dan Toy Story 3 keluaran studio animasi Pixar. Sebelumnya, di tahun yang sama, DreamWorks juga mencuri perhatian para penikmat film lewat How to Train Your Dragon.
Berbeda dengan film-film animasi sebelumnya yang lebih banyak berfokus pada tokoh baik, tokoh utama Despicable Me justru seorang penjahat. Gru, tokoh itu, digambarkan sebagai lelaki penyendiri yang dingin dengan masa kecil kelabu sang ibu selalu meremehkan apa pun usahanya.
Karakter Gru bisa dibilang bukan tokoh yang gampang disukai. Dia kejam, dingin, dan bengis. Gru digambarkan tinggal di rumah bercat hitam yang berkesan angker, kontras dengan rumah-rumah di sekelilingnya yang bercat cerah. Kemana-mana dia menggunakan kendaraan tempur berlapis baja dan senjata pembeku. Tak mengherankan, adegan perkenalannya kepada pe nonton yang memakan waktu cukup panjang di awal film berdurasi 95 menit ini terasa sedikit mem bosankan.
Untungnya kehadiran trio gadis yatim piatu Margo, Edith, dan Agnes serta pasukan minion dengan humor slapstick-nya mampu membuat cerita menjadi lebih hidup. Interaksi antara Gru dan anak-anak yang diadopsinya itu menjadi drama yang menyentuh. Gru yang selama ini hidup menyendiri kini harus membiasakan diri dengan kehadiran tiga gadis itu, yang mulai meng anggapnya sebagai ayah yang baik bagi mereka.
Di sisi lain, penonton juga diajak mengikuti perubahan karakter Gru yang menyebalkan dan tak peduli terha dap orang lain perlahan menjadi pribadi yang menyenangkan. Film yang ditonton dengan kacamata tiga dimensi ini menampilkan orang jahat tak selama nya jahat, ia juga bisa tersentuh hatinya. Anak-anak yang polos berbagi kasih tanpa pamrih, keceriaan anak-anak mampu mencairkan hati yang membeku.
Film ini mungkin tidak seemosional Toy Story 3, tapi setidaknya mengingatkan penonton akan hal-hal yang dianggap remeh yang justru amat berarti, seperti membacakan cerita dan mencium kening sebelum tidur. Penggunaan tek nologi 3D, walaupun tak seciamik How to Train Your Dragon, tetap memberikan nilai plus. Lihat saja adegan ketika Gru dan tiga anaknya bermain roller coaster atau saat dia menjelajahi angkasa.
Tapi, yang lebih penting, kemampuan Steve Carell yang mengisi suara Gru patut diacungi jempol. Kemampuannya mengubah suara menjadi beraksen Eropa Timur kian memperkuat karak ter Gru yang misterius dan dingin. Carell bisa mengajak penonton mengikuti perubahan karakter tokoh jahat yang ternyata berhati baik itu. Para pengisi suara lainnya, meski tak terlalu dominan, berhasil menghidupkan karakter yang dibawakan sehingga meskipun naskah tidak menawarkan sesuatu yang baru, film ini tetap menyuguhkan tontonan yang menghibur.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 26 Juli 2010)
Dapatkan segera DVD film animasi "DESPICABLE ME" di DREAM VISION HOME VIDEO (Sale and Rental) yang telah tersedia
Mau nonton Trailer "DESPICABLE ME" klik di sini http://movies.yahoo.com/movie/1810095115/video
Skenario: Ken Daurio, Cinco Paul
Sutradara: Pierre Coffin, Chris Renaud, Sergio Pablos
Pemain: Steve Carell, Jason Segel, Russell Brand, Will Arnett, Kristen Wiig, Danny McBride, Miranda Cosgrove
Dunia gempar. Piramida Giza di Mesir yang termasyhur itu mendadak hilang. Seorang pencuri mengambilnya dan menggantinya dengan balon udara yang berwujud persis piramida aslinya. Kabar itu membuat Gru uring-uringan. Lelaki berwajah penguin ini merasa pamornya sebagai maling kelas wahid terancam. Kesuksesannya mencuri layar LED di Times Square menjadi tak berarti apa-apa. Dia makin dongkol setelah tahu pelaku pencurian piramida itu seorang pemuda bernama Vector, yang selama ini dianggap maling kelas teri.
Maka tercetuslah ide gila di kepalanya. Satu-satunya cara merebut predikat terbaik di dunia kriminal itu dia harus mencuri bulan. Dibantu tentara minion miliknya segerombol makhluk berbentuk kapsul mini berwarna kuning dengan penampilan dan tingkah laku jenaka dan asistennya, profesor jenius Nefario, Gru menyusun siasat. Mereka bakal meluncur ke bulan menggunakan roket. Supaya bulan gampang dibawa ke bumi, perkecil ukurannya hingga sebesar bola tenis.
Rencana itu hampir saja sukses ketika Gru mencuri mesin pengecil milik pemerintah. Mesin yang mampu membuat gajah menjadi sekecil tikus itu se suai dengan syarat Bank of Evil selaku penyandang dana tindakan kejahatan di dunia. Sayang, mesin itu dicuri lagi oleh Vector. Mati-matian Gru berusaha merebut kembali, tapi selalu gagal lantaran markas Vektor dilengkapi sistem pertahanan canggih.
Gru hampir menyerah ketika dilihatnya tiga bocah perempuan penjaja kue bisa dengan leluasa masuk ke markas besar Vector. Berpura-pura baik, Gru lalu memanfaatkan keluguan Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Elsie Fisher), tiga gadis yatim piatu penghuni panti asuhan yang lama mendambakan kehadiran seorang ayah.
Kisah si penjahat Gru yang tersaji dalam film animasi berbujet rendah (US$ 69 juta) ini debut pertama Universal's Illumination Entertainment, yang didirikan Chris Meledandri, mantan bos 20th Century Fox. Berpengalaman menggarap Ice Age dan The Simpson, Chris yang hengkang dari Fox pada 2007 percaya diri merilis Despicable Me dengan memanfaatkan teknologi tiga dimensi (3D), hampir bersamaan dengan pemutaran Shrek 4 dan Toy Story 3 keluaran studio animasi Pixar. Sebelumnya, di tahun yang sama, DreamWorks juga mencuri perhatian para penikmat film lewat How to Train Your Dragon.
Berbeda dengan film-film animasi sebelumnya yang lebih banyak berfokus pada tokoh baik, tokoh utama Despicable Me justru seorang penjahat. Gru, tokoh itu, digambarkan sebagai lelaki penyendiri yang dingin dengan masa kecil kelabu sang ibu selalu meremehkan apa pun usahanya.
Karakter Gru bisa dibilang bukan tokoh yang gampang disukai. Dia kejam, dingin, dan bengis. Gru digambarkan tinggal di rumah bercat hitam yang berkesan angker, kontras dengan rumah-rumah di sekelilingnya yang bercat cerah. Kemana-mana dia menggunakan kendaraan tempur berlapis baja dan senjata pembeku. Tak mengherankan, adegan perkenalannya kepada pe nonton yang memakan waktu cukup panjang di awal film berdurasi 95 menit ini terasa sedikit mem bosankan.
Untungnya kehadiran trio gadis yatim piatu Margo, Edith, dan Agnes serta pasukan minion dengan humor slapstick-nya mampu membuat cerita menjadi lebih hidup. Interaksi antara Gru dan anak-anak yang diadopsinya itu menjadi drama yang menyentuh. Gru yang selama ini hidup menyendiri kini harus membiasakan diri dengan kehadiran tiga gadis itu, yang mulai meng anggapnya sebagai ayah yang baik bagi mereka.
Di sisi lain, penonton juga diajak mengikuti perubahan karakter Gru yang menyebalkan dan tak peduli terha dap orang lain perlahan menjadi pribadi yang menyenangkan. Film yang ditonton dengan kacamata tiga dimensi ini menampilkan orang jahat tak selama nya jahat, ia juga bisa tersentuh hatinya. Anak-anak yang polos berbagi kasih tanpa pamrih, keceriaan anak-anak mampu mencairkan hati yang membeku.
Film ini mungkin tidak seemosional Toy Story 3, tapi setidaknya mengingatkan penonton akan hal-hal yang dianggap remeh yang justru amat berarti, seperti membacakan cerita dan mencium kening sebelum tidur. Penggunaan tek nologi 3D, walaupun tak seciamik How to Train Your Dragon, tetap memberikan nilai plus. Lihat saja adegan ketika Gru dan tiga anaknya bermain roller coaster atau saat dia menjelajahi angkasa.
Tapi, yang lebih penting, kemampuan Steve Carell yang mengisi suara Gru patut diacungi jempol. Kemampuannya mengubah suara menjadi beraksen Eropa Timur kian memperkuat karak ter Gru yang misterius dan dingin. Carell bisa mengajak penonton mengikuti perubahan karakter tokoh jahat yang ternyata berhati baik itu. Para pengisi suara lainnya, meski tak terlalu dominan, berhasil menghidupkan karakter yang dibawakan sehingga meskipun naskah tidak menawarkan sesuatu yang baru, film ini tetap menyuguhkan tontonan yang menghibur.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 26 Juli 2010)
Dapatkan segera DVD film animasi "DESPICABLE ME" di DREAM VISION HOME VIDEO (Sale and Rental) yang telah tersedia
Mau nonton Trailer "DESPICABLE ME" klik di sini http://movies.yahoo.com/movie/1810095115/video
Kamis, 25 November 2010
FILM FILM BERNUANSA DRAMA CINTA ROMANTIS
Judul: REMEMBER ME
Sutradara: Allen Coulter
Skenario: Will Fetters
Pemain: Robert Pattinson, Emily de Ravin, Pierce Brosnan
Ternyata Robert Pattinson dan Kristen Stewart menjadi aktor yang sesungguhnya di luar film-fil Twilight Saga (Twilight, New Moon dan Eclipse). Mungkin film Remember Me bukan film terdahsyat di dunia, tetapi paling tidak masih bisa memperlihatkan Pattinson sebetulnya mempunyai kemampuan akting dengan spektrum yang luas.
Film Remember Me dimulai dengan peristiwa tewasnya seorang ibu dalam sebuah peristiwa perampokan di stasiun bawah tanah. Sang gadis kecil yang menjadi saksi kematian ibunya itu adalah Ally yang kemudian kita kenal belasan tahun kemudian sebagai gadis cantik yang menyimpan trauma. Ally (Emilie de Ravin) bertemu dengan Taylor (Robert Pattinson) di kampus. Seorang pemuda tampan, berantakan, yang mengisi hidup dengan komentar sarkastik dan sebungkus rokok. Sarkasme itu berakar dari tingkah ayahnya (Pierce Brosnan) seorang pengacara sukses yang dingin dan berjarak dengan anak-anaknya. Belakangan, perlahan dari hubungan cinta Ally dan Taylor, terungkap bahwa Taylor mempunyai abang lelaki yang bunuh diri, yang membuat keluarganya pecah berantakan.
Film ini sebetulnya mempunyai potensi ledakan yang dahsyat, karena penulis skenario Will Fetters dan sutradara Allen Coulter mencoba memberi latarbelakang setiap karakter yang membangun sosok mereka. Untuk beberapa saat kita mulai yakin bahwa Robert Pattinson yang kita skasikan adalah seorang vampire yang cuma bisa gelisah hanya karena dia tak bisa berhubungan seks dengan kekasihnya. Di sini, dia seorang lelaki yang tengah menggocoh ayahnya. Untuk beberapa saat pula, sosok Taylor sempat merebut simpati penonton karena dia sungguh mencintai adik perempuannya yang tertindas.
Tetapi kompeksitas hubungan Taylor dan Ally—yang tentu saja tak bisa saya ungkap di sini, karena penonton nampaknya selalu gemar kejutan—ditumpuk lagi dengan akhir film yang memaksa diri menggelantung pada sebuah tragedi dunia di New York yang tak akan pernah dilupakan umat manusia. Mengapa, mengapa Allen Coulter harus merasa perlu menambah seluruh tragedi yang sudah begitu beruntun dengan satu gebugan akhir yang dipaksakan?
Bagaimanapun, film ini dan film The Runaways (di mana Kristen Stewart tampil sebagai gitaris rocker Joan Jett) menunjukkan kedua aktor itu sebaiknya cepat-cepat meninggalkan dunia Twilight. Ini penting, agar mereka bisa menunjukkan bahwa seni peran mereka bukan hanya terdiri dari wajah dukalara dan resah gelisah.
(Dari Koran TEMPO Edisi 23 Juli 2010)
Mau nonton trailer "Remember Me" Klik di sini http://movies.yahoo.com/movie/1810076910/video
Film yang lainnya
Cinta Dalam Sehelai Prangko
Judul: DEAR JOHN
Sutradara: Lasse Hallstrom
Skenario: Jamie Linden Berdasarkan novel karya Nicholas Sparks
Pemain: Amanda Seyfried, Channing Tatum, Richard Jenkins
Film yang diangkat dari novel Nicholas Sparks biasanya membuat kita penuh curiga. Kita harus menyediakan sekotak tisyu karena tema Sparks akan melibatkan cinta dan kematian. Film Dear John nampaknya bukan hanya menjual nama Nicholas Sparks, tetapi juga dada six pack Channing Tatum yang dipasang dengan aktris serba bisa yang sedang naik daun Amanda Seyfried (Mamma Mia, Chloe, Letters to Juliette).
Tersebutlah John Tyree, seorang sersan yang bertugas dalam pasukan khusus AS. Film dibuka saat John tengah berjuang meraih hidup ketika peluru menghajar tubuhnya. Dan yang diingatnya saat-saat itu adalah koleksi koin sang Ayah yang bertaburan satu persatu.
Kita kemudian terlempar ke beberapa tahun sebelumnya ketika kali pertama John berkenalan dengan Savannah Lynn Curtis (Amanda Sefried), seorang mahasiswa yang mengisi libur musim semi dengan serangkaian pekerjaan sukarela. Wajah jelita dan hati emas Savannah langsung saja merenggut hati John. Hanya dalam beberapa hari, mereka jatuh cinta. Tapi tunggu dulu. Savannah ingin tahu latar belakang John. Dia ingin berkenalan dengan Ayah John (Richard Jenkins) yang sehari-hari sangat kikuk menghadapi orang, dan lebih tertarik mengurusi koleksi koin nya. Savammah yang biasa mengurus para penderita autistik langsung mengenli tanda-tanda itu; sementara John menyangkal kenyataan itu. Dramapun dimulai.
Perpisahan sejoli dimabuk cinta itu tak terelakkan. Savannah harus kembali ke kampus dan John harus ditugaskan ke tempat di seberang benua yang lokasinya harus dirahasiakan. Tapi mereka berjanji saling bersurat. Maka kita disajikan montase surat menyurat tradisional (oh, betapa rindunya kita melihat tinta pulpen, kertas surat, prangko dan amplop) dan kegiatan Savannah dan John selama perpisahan itu. Namun tragedi 9/11 terjadi. Pasukan John yang seharusnya selesai bertugas dengan heroik mengajukan diri untuk memperpanjang masa tugas di lapangan. Semula John ragu untuk ikut serta karena ia berjanji untuk pulang ke Amerika bertemu dengan kekasihnya. Ternyata, apa boleh buat. Dia pulang dan oh, sang kekasih sudah menikah. John akhirnya menerjunkan diri dalam pasukan khusus heroik itu.
Tentu saja ini bukan akhir dari cerita. Kita kemudian melihat komplikasi hubungan Savannah dengan suaminya (yang dinikahi lebih karena hatinya yang selalu ingin melindungi yang “lemah” dan betapa gampangnya penyelesaian film ini: memberi penyakit kanker pada sang suami) dan kenyataan bahwa Savannah sebetulnya masih sangat mencintai John. Jika kita sudah dengan ikhlas menerima cerita Nicholas Sparks yang selalu penuh sedu sedan, maka problem utama film ini sebetulnya akan pada seni peran Channing Tatum.
Dia seharusnya tampil sebagai tentara yang hemat kata dan membuang semua keresahannya ke dalam tubuhnya. Tetapi Tatum menafsirkan karakter itu dengan kekakuan dan ekspresi tunggal. Memang akhirnya Amanda Seyfried mengatasi adegan-adegan mereka, karena dia memang seorang aktris berbakat. Namun ternyata bintang dalam film ini adalah Richard Jenkins, sang ayah yang menderita autistik, yang sulit untuk berkomunikasi tapi kita bisa rasakan cintanya yang luarbiasa pada puteranya bahkan menembus layar. Dan jika airmata runtuh untuk film ini, justru bukan karena kisah cinta yang tak tergapai, tetapi karena sosok ayah yang mengucapkan cinta melalui keterbatasannya dengan cara yang merobek jiwa.
(Dari Tempointeraktif Edisi 6 Agustus 2010)
Mau nonton Trailer film "Dear John" Klik di sini http://movies.yahoo.com/movie/1810045894/video
Sutradara: Allen Coulter
Skenario: Will Fetters
Pemain: Robert Pattinson, Emily de Ravin, Pierce Brosnan
Ternyata Robert Pattinson dan Kristen Stewart menjadi aktor yang sesungguhnya di luar film-fil Twilight Saga (Twilight, New Moon dan Eclipse). Mungkin film Remember Me bukan film terdahsyat di dunia, tetapi paling tidak masih bisa memperlihatkan Pattinson sebetulnya mempunyai kemampuan akting dengan spektrum yang luas.
Film Remember Me dimulai dengan peristiwa tewasnya seorang ibu dalam sebuah peristiwa perampokan di stasiun bawah tanah. Sang gadis kecil yang menjadi saksi kematian ibunya itu adalah Ally yang kemudian kita kenal belasan tahun kemudian sebagai gadis cantik yang menyimpan trauma. Ally (Emilie de Ravin) bertemu dengan Taylor (Robert Pattinson) di kampus. Seorang pemuda tampan, berantakan, yang mengisi hidup dengan komentar sarkastik dan sebungkus rokok. Sarkasme itu berakar dari tingkah ayahnya (Pierce Brosnan) seorang pengacara sukses yang dingin dan berjarak dengan anak-anaknya. Belakangan, perlahan dari hubungan cinta Ally dan Taylor, terungkap bahwa Taylor mempunyai abang lelaki yang bunuh diri, yang membuat keluarganya pecah berantakan.
Film ini sebetulnya mempunyai potensi ledakan yang dahsyat, karena penulis skenario Will Fetters dan sutradara Allen Coulter mencoba memberi latarbelakang setiap karakter yang membangun sosok mereka. Untuk beberapa saat kita mulai yakin bahwa Robert Pattinson yang kita skasikan adalah seorang vampire yang cuma bisa gelisah hanya karena dia tak bisa berhubungan seks dengan kekasihnya. Di sini, dia seorang lelaki yang tengah menggocoh ayahnya. Untuk beberapa saat pula, sosok Taylor sempat merebut simpati penonton karena dia sungguh mencintai adik perempuannya yang tertindas.
Tetapi kompeksitas hubungan Taylor dan Ally—yang tentu saja tak bisa saya ungkap di sini, karena penonton nampaknya selalu gemar kejutan—ditumpuk lagi dengan akhir film yang memaksa diri menggelantung pada sebuah tragedi dunia di New York yang tak akan pernah dilupakan umat manusia. Mengapa, mengapa Allen Coulter harus merasa perlu menambah seluruh tragedi yang sudah begitu beruntun dengan satu gebugan akhir yang dipaksakan?
Bagaimanapun, film ini dan film The Runaways (di mana Kristen Stewart tampil sebagai gitaris rocker Joan Jett) menunjukkan kedua aktor itu sebaiknya cepat-cepat meninggalkan dunia Twilight. Ini penting, agar mereka bisa menunjukkan bahwa seni peran mereka bukan hanya terdiri dari wajah dukalara dan resah gelisah.
(Dari Koran TEMPO Edisi 23 Juli 2010)
Mau nonton trailer "Remember Me" Klik di sini http://movies.yahoo.com/movie/1810076910/video
Film yang lainnya
Cinta Dalam Sehelai Prangko
Judul: DEAR JOHN
Sutradara: Lasse Hallstrom
Skenario: Jamie Linden Berdasarkan novel karya Nicholas Sparks
Pemain: Amanda Seyfried, Channing Tatum, Richard Jenkins
Film yang diangkat dari novel Nicholas Sparks biasanya membuat kita penuh curiga. Kita harus menyediakan sekotak tisyu karena tema Sparks akan melibatkan cinta dan kematian. Film Dear John nampaknya bukan hanya menjual nama Nicholas Sparks, tetapi juga dada six pack Channing Tatum yang dipasang dengan aktris serba bisa yang sedang naik daun Amanda Seyfried (Mamma Mia, Chloe, Letters to Juliette).
Tersebutlah John Tyree, seorang sersan yang bertugas dalam pasukan khusus AS. Film dibuka saat John tengah berjuang meraih hidup ketika peluru menghajar tubuhnya. Dan yang diingatnya saat-saat itu adalah koleksi koin sang Ayah yang bertaburan satu persatu.
Kita kemudian terlempar ke beberapa tahun sebelumnya ketika kali pertama John berkenalan dengan Savannah Lynn Curtis (Amanda Sefried), seorang mahasiswa yang mengisi libur musim semi dengan serangkaian pekerjaan sukarela. Wajah jelita dan hati emas Savannah langsung saja merenggut hati John. Hanya dalam beberapa hari, mereka jatuh cinta. Tapi tunggu dulu. Savannah ingin tahu latar belakang John. Dia ingin berkenalan dengan Ayah John (Richard Jenkins) yang sehari-hari sangat kikuk menghadapi orang, dan lebih tertarik mengurusi koleksi koin nya. Savammah yang biasa mengurus para penderita autistik langsung mengenli tanda-tanda itu; sementara John menyangkal kenyataan itu. Dramapun dimulai.
Perpisahan sejoli dimabuk cinta itu tak terelakkan. Savannah harus kembali ke kampus dan John harus ditugaskan ke tempat di seberang benua yang lokasinya harus dirahasiakan. Tapi mereka berjanji saling bersurat. Maka kita disajikan montase surat menyurat tradisional (oh, betapa rindunya kita melihat tinta pulpen, kertas surat, prangko dan amplop) dan kegiatan Savannah dan John selama perpisahan itu. Namun tragedi 9/11 terjadi. Pasukan John yang seharusnya selesai bertugas dengan heroik mengajukan diri untuk memperpanjang masa tugas di lapangan. Semula John ragu untuk ikut serta karena ia berjanji untuk pulang ke Amerika bertemu dengan kekasihnya. Ternyata, apa boleh buat. Dia pulang dan oh, sang kekasih sudah menikah. John akhirnya menerjunkan diri dalam pasukan khusus heroik itu.
Tentu saja ini bukan akhir dari cerita. Kita kemudian melihat komplikasi hubungan Savannah dengan suaminya (yang dinikahi lebih karena hatinya yang selalu ingin melindungi yang “lemah” dan betapa gampangnya penyelesaian film ini: memberi penyakit kanker pada sang suami) dan kenyataan bahwa Savannah sebetulnya masih sangat mencintai John. Jika kita sudah dengan ikhlas menerima cerita Nicholas Sparks yang selalu penuh sedu sedan, maka problem utama film ini sebetulnya akan pada seni peran Channing Tatum.
Dia seharusnya tampil sebagai tentara yang hemat kata dan membuang semua keresahannya ke dalam tubuhnya. Tetapi Tatum menafsirkan karakter itu dengan kekakuan dan ekspresi tunggal. Memang akhirnya Amanda Seyfried mengatasi adegan-adegan mereka, karena dia memang seorang aktris berbakat. Namun ternyata bintang dalam film ini adalah Richard Jenkins, sang ayah yang menderita autistik, yang sulit untuk berkomunikasi tapi kita bisa rasakan cintanya yang luarbiasa pada puteranya bahkan menembus layar. Dan jika airmata runtuh untuk film ini, justru bukan karena kisah cinta yang tak tergapai, tetapi karena sosok ayah yang mengucapkan cinta melalui keterbatasannya dengan cara yang merobek jiwa.
(Dari Tempointeraktif Edisi 6 Agustus 2010)
Mau nonton Trailer film "Dear John" Klik di sini http://movies.yahoo.com/movie/1810045894/video
KISAH CINTA DARI VERONA
Judul: LETTERS TO JULIETTE
Sutradara: Gary Winick
Skenario: Jose Rivera dan Tim Sullivan
Pemain: Amanda Seyfried, Vanessa Redgrace, Christopher Egan, Gael Garcia Bernal
Verona masih memelihara romansa Romeo dan Juliette melalui sebuah tembok cinta. Di sana, para turis (perempuan) dari berbagai penjuru negeri menulis persoalan cintanya dan melekatkan surat itu pada "tembok Verona". Ketika malam turun, sekelompok perempuan yang menyebut diri sebagai "Sekretaris Juliette" mencabut surat-surat yang dilekatkan itu, lalu membaca dan membalasnya satu-persatu.
Sophie (Amanda Seyfried), seorang gadis Amerika yang bekerja sebagai pengecek data di majalah bergengsi The New Yorker bertemu takdirnya di Verona. Dia ke Itali bersama tunangannya, Victor (Gael Garcia Bernal) untuk sebuah "pra-bulan madu". Tetapi karena sang tunangan adalah seorang koki yang sedang membangun restoran di New York. Artinya, Victori tak bisa menahan gairahnya pada kedahsyatan anggur, keju murni dan caviar untuk restorannya kelak. Acara pra-bulan madu mereka akhirnya lebih didominasi urusan makanan. Sudah bisa diduga, Sophie akhirnya memutuskan menyusuri Verona sendirian hingga ia akhirnya bertemu dengan tembok Juliette dan balkon keluarga Capulet.
Dari ratusan surat berisi keluh kesah para gadis yang tengah jatuh cinta itu, Sophie menemukan satu surat lusuh yang terselip di antara tumpukan batu bata tembok Verona itu. Ternyata surat itu berusia 50 tahun yang ditulis Claire kepada kekasihnya Lorenzo Bartolini di masa mudanya.
Sophie menawarkan diri untuk menjadi relawan yang membalas surat Claire, mumpung sang tunangan sibuk mencoba anggur di luar kota.
Ternyata balasan "Juliette" versi Sophie itu menyentuh hati Claire (Vanessa Redgrave) yang segera saja terbang dari London ke Verona bersama cucunya, Charlie (Christopher Egan). Claire kemudian merasa "berhutang" penjelasan pada Lorenzo, mengapa dia tidak memenuhi janji muda mereka untuk bertemu dan lari dari orangtua. Rencana masa lalu mereka terdengar begitu romantic. Claire ingin menyusuri seluruh pelosok Verona; Sophie menawarkan diri untuk ikut serta sementara sang cucu yang ganteng-mengingatkan kita pada aktor Heath Ledger di masa muda-justru menentang rencana sinting itu. Charlie khawatir neneknya yang sudah ditinggal suami (karena meninggal) dan anak (juga karena tewas dalam sebuah kecelakaan) akan menemui kekecewaan.
Sudah bisa diduga, film ini adalah sebuah film semi road-movie yang sekaligus memperlihatkan pedesaan cantik Italia. Mudah sekali menemukan Bertolini, karena itu nama umum di sana. Tetapi hanya ada satu Bertolini yang dikenal Claire, yaitu Bertolini yang menatap matanya dengan dalam.
Romantika model begini memang sudah pasti akan membuat penonton perempuan meleleh ditelan romantisme. Apalagi, sudah jelas Sophiepun terlibat dalam persoalan cinta yang kompleks. Dia terikat oleh pertunangan dengan Victor-yang nampaknya lebih gandrung pada anggur dan spaghetti daripada until-untelan dengan pacarnya-sedangkan Sophie ditemani lelaki muda seganteng heath Ledger.
Keistimewaan film komedi romantis inia da dua: pertama, ide tembok Verona dan upaya menghidupkan romantisme kisah klasik Romeo and Juliet karya William Shakespeare ke dlaam hidup sehari-hari adalah sebuah titik awal yang unik. Amat langka bagi sineas Hollywood untuk menggali sebuah cerita klasik berusia ribuan tahun untuk menjadi inspirasi sebuah cerita baru. Kedua, penampilan Vanessa Redgrave adalah sinar matahari yang menyelinap dan menghangatkan seluruh adegan. Dia tampll dengan anggun dan meyakinkan sebagai seorang perempuan di masa senja yang ingin menemui cinta pertamanya di sebuah masa. Dengan menampilkan aktor Franco Nero-suami Vanessa dalam hidup nyata-sebagai Bertolini, maka kisah cinta abadi itu tentu saja menjadi satu harapan bagi para penonton (perempuan) yang sinis: bahwa masih ada cinta sejati.
Akhir dari film, adegan balkon dan adegan panjat memanjats saat pernyataan cinta antara Sophie dan Charlie sebetulnya mencoba ingin menarik penonton pada adegan balkon Romeo dan Juliet. Tetapi film ini sebetulnya sudah menciptakan sebuah cerita baru yang menarik, unik dan sama sekali tak membutuhkan kode apapun untuk menarik penonton padakisah klasik Shakespeare. Seharusnya sineas film ini percaya diri pada ceritanya sendiri.
(Dari KORAN TEMPO Edisi Sabtu, 03 Juli 2010)
Untuk nonton Trailer film "LETTERS TO JULIETTE" klik http://movies.yahoo.com/movie/1810089734/video
Sutradara: Gary Winick
Skenario: Jose Rivera dan Tim Sullivan
Pemain: Amanda Seyfried, Vanessa Redgrace, Christopher Egan, Gael Garcia Bernal
Verona masih memelihara romansa Romeo dan Juliette melalui sebuah tembok cinta. Di sana, para turis (perempuan) dari berbagai penjuru negeri menulis persoalan cintanya dan melekatkan surat itu pada "tembok Verona". Ketika malam turun, sekelompok perempuan yang menyebut diri sebagai "Sekretaris Juliette" mencabut surat-surat yang dilekatkan itu, lalu membaca dan membalasnya satu-persatu.
Sophie (Amanda Seyfried), seorang gadis Amerika yang bekerja sebagai pengecek data di majalah bergengsi The New Yorker bertemu takdirnya di Verona. Dia ke Itali bersama tunangannya, Victor (Gael Garcia Bernal) untuk sebuah "pra-bulan madu". Tetapi karena sang tunangan adalah seorang koki yang sedang membangun restoran di New York. Artinya, Victori tak bisa menahan gairahnya pada kedahsyatan anggur, keju murni dan caviar untuk restorannya kelak. Acara pra-bulan madu mereka akhirnya lebih didominasi urusan makanan. Sudah bisa diduga, Sophie akhirnya memutuskan menyusuri Verona sendirian hingga ia akhirnya bertemu dengan tembok Juliette dan balkon keluarga Capulet.
Dari ratusan surat berisi keluh kesah para gadis yang tengah jatuh cinta itu, Sophie menemukan satu surat lusuh yang terselip di antara tumpukan batu bata tembok Verona itu. Ternyata surat itu berusia 50 tahun yang ditulis Claire kepada kekasihnya Lorenzo Bartolini di masa mudanya.
Sophie menawarkan diri untuk menjadi relawan yang membalas surat Claire, mumpung sang tunangan sibuk mencoba anggur di luar kota.
Ternyata balasan "Juliette" versi Sophie itu menyentuh hati Claire (Vanessa Redgrave) yang segera saja terbang dari London ke Verona bersama cucunya, Charlie (Christopher Egan). Claire kemudian merasa "berhutang" penjelasan pada Lorenzo, mengapa dia tidak memenuhi janji muda mereka untuk bertemu dan lari dari orangtua. Rencana masa lalu mereka terdengar begitu romantic. Claire ingin menyusuri seluruh pelosok Verona; Sophie menawarkan diri untuk ikut serta sementara sang cucu yang ganteng-mengingatkan kita pada aktor Heath Ledger di masa muda-justru menentang rencana sinting itu. Charlie khawatir neneknya yang sudah ditinggal suami (karena meninggal) dan anak (juga karena tewas dalam sebuah kecelakaan) akan menemui kekecewaan.
Sudah bisa diduga, film ini adalah sebuah film semi road-movie yang sekaligus memperlihatkan pedesaan cantik Italia. Mudah sekali menemukan Bertolini, karena itu nama umum di sana. Tetapi hanya ada satu Bertolini yang dikenal Claire, yaitu Bertolini yang menatap matanya dengan dalam.
Romantika model begini memang sudah pasti akan membuat penonton perempuan meleleh ditelan romantisme. Apalagi, sudah jelas Sophiepun terlibat dalam persoalan cinta yang kompleks. Dia terikat oleh pertunangan dengan Victor-yang nampaknya lebih gandrung pada anggur dan spaghetti daripada until-untelan dengan pacarnya-sedangkan Sophie ditemani lelaki muda seganteng heath Ledger.
Keistimewaan film komedi romantis inia da dua: pertama, ide tembok Verona dan upaya menghidupkan romantisme kisah klasik Romeo and Juliet karya William Shakespeare ke dlaam hidup sehari-hari adalah sebuah titik awal yang unik. Amat langka bagi sineas Hollywood untuk menggali sebuah cerita klasik berusia ribuan tahun untuk menjadi inspirasi sebuah cerita baru. Kedua, penampilan Vanessa Redgrave adalah sinar matahari yang menyelinap dan menghangatkan seluruh adegan. Dia tampll dengan anggun dan meyakinkan sebagai seorang perempuan di masa senja yang ingin menemui cinta pertamanya di sebuah masa. Dengan menampilkan aktor Franco Nero-suami Vanessa dalam hidup nyata-sebagai Bertolini, maka kisah cinta abadi itu tentu saja menjadi satu harapan bagi para penonton (perempuan) yang sinis: bahwa masih ada cinta sejati.
Akhir dari film, adegan balkon dan adegan panjat memanjats saat pernyataan cinta antara Sophie dan Charlie sebetulnya mencoba ingin menarik penonton pada adegan balkon Romeo dan Juliet. Tetapi film ini sebetulnya sudah menciptakan sebuah cerita baru yang menarik, unik dan sama sekali tak membutuhkan kode apapun untuk menarik penonton padakisah klasik Shakespeare. Seharusnya sineas film ini percaya diri pada ceritanya sendiri.
(Dari KORAN TEMPO Edisi Sabtu, 03 Juli 2010)
Untuk nonton Trailer film "LETTERS TO JULIETTE" klik http://movies.yahoo.com/movie/1810089734/video
Cerita tentang Raja Dunia Maya : Kisah Terciptanya FACEBOOK
Judul: Social Network
Sutradara: David Fincher
Skenario Aaron Sorkin, Ben Mezrich (buku)
Pemain: Jesse Eisenberg, Andrew Garfield, Justin Timberlake
DVD film " Social Network " telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ] ]
REVOLUSI dunia maya ini dimulai dari hati yang pecah berkeping-keping.
Di sebuah malam yang sial, Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg), mahasiswa jenius Universitas Harvard, bertengkar dengan sang pacar, Erica Albright (Rooney Mara). Mark melemparkan puluhan topik secara acak dan berbicara dengan cepat, dengan bola mata yang tak terfokus pada lawan bicaranya. Erica, mahasiswa yang tak kalah cerdas, dengan tangkas membalas semua celotehan Mark. Tapi lama-kelamaan Erica jengkel. Mark sungguh obsesif ingin bergabung dengan salah satu final club (kelompok sosial di kampus yang eksklusif khusus untuk mahasiswa lelaki). Erica tak tahan. Posisi kelompok eksklusif yang sudah berabad usianya itu kini sudah dikritik tidak hanya karena eksklusifnya, tapi juga karena kegiatan-kegiatannya yang diskriminatif. Bagi Erica, mahasiswa sejenius Mark tak perlu bergabung dengan kelompok konyol itu. Erica memutuskan hubungan mereka saat itu juga dan meninggalkan Mark yang tercengang.
Meski pasangan itu terlihat sama-sama pandai, ternyata tingkat kematangan emosi Mark masih labil. Begitu dia dicampakkan, kepingan hatinya bertebaran di lorong-lorong kampus Harvard. Dan setibanya di kamar asrama, dia menghajar mantan kekasihnya melalui Internet dengan kalimat kasar seperti, "Erica adalah seorang bitch (anak anjing) berdada rata...."
Tak cukup menghina mantan kekasih, Mark menciptakan permainan Facemash yang mengundang siapa saja untuk memilih dan menyusun nama-nama perempuan di kampus sesuai dengan seberapa cantik dan seksinya mereka. Kemampuan Mark untuk bisa menembus, mengupas, dan menggebrak, atau istilahnya dalam dunia maya "hacking", ke server kampus menggegerkan kampus Harvard. Para mahasiswi dan dosen murka oleh permainan Mark. Dia dipanggil dan diinterogasi otoritas kampus dan diganjar hukuman akademis enam bulan. Artinya, jika selama enam bulan itu melakukan hal yang sama, Mark akan dikeluarkan.
Tapi, untuk seorang jenius seperti Mark, ancaman itu tak membuatnya gentar. Kalimatnya kepada pihak keamanan Internet dan intranet kampus Harvard bahwa "harus kau akui, saya berhasil merobek benteng pertahanan kalian" membuat para dosen terdiam. Itu memang benar.
Hanya dalam bilangan beberapa menit, Mark menjadi mahasiswa yang namanya keren dan terkemuka di kampus Harvard. Perempuan mulai melirik, meski dia tetap dingin dan asyik dengan dunianya sendiri. Tiga mahasiswa senior dari kalangan elite, si kembar Cameron dan Tyler Winklevoss (keduanya diperankan oleh Armie Hammer) dan Divya Narendra (Max Minghella), menyadari nilai kemampuan sang jenius. Kuliah teknologi informasi yang diikuti Mark terlalu mudah hingga sang dosen membiarkan Mark meninggalkan kelas kapan saja. Trio Winklevoss dan Divya Narendra menawari Mark menciptakan program bernama HarvardConnection, yang memungkinkan mahasiswa Harvard berkenalan dan berkawan di dunia maya (mengingat kampus Harvard luar biasa gigantik). "Mereka yang ingin berkenalan cukup mengajukan request, dan yang diminta tinggal menekan tombol approve atau decline," kata Cameron.
Tentu saja kita mengenal ini sebagai cikal-bakal Facebook yang kini sudah mendunia. Tapi saat itu trio Winklevoss dan Narendra hanya berniat mencari cewek sesama Harvard belaka. Mark menyatakan bersedia bergabung dalam proyek mereka. Namun diam-diam Mark mengembangkan program itu sendirian, dan mengajak Eduardo Saverin (Andrew Garfield) untuk mencemplungkan US$ 1.000 sebagai investasi awal. Saverin setuju dan dia diangkat sebagai mitra bisnis. Maka ide awal tentang HarvardConnection yang masih mentah dimatangkan oleh Mark menjadi The Facebook. Demikianlah nama awal jaringan sosial yang kini sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari itu.
Dalam waktu singkat, The Facebook menjadi bintang kampus-kampus elite Amerika Serikat selain Harvard. Tentu saja itu membuat trio Winklevoss-Narendra berang. Tuntutan perdata mereka itulah yang membuka film ini. Sutradara David Fincher (Se7en, Zodiac) dengan sigap bolak-balik antara adegan pengadilan perdata dan kesaksian Mark tentang bagaimana Facebook bisa berkembang menjadi fenomena.
Mark menghadapi dua tuntutan yang berbeda: dari trio Winklevoss-Narendra, yang merasa punya andil dalam pembentukan Facebook, dan dari mitra bisnisnya sendiri, Eduardo Saverin, yang belakangan disingkirkan dari kepemilikan saham setelah Mark bertemu dengan Sean Parker (Justin Timberlake dengan penampilan yang keren), yang mencarikan investor untuk Facebook. Adalah Parker yang mengusulkan agar Mark membuang kata "The" agar "Facebook terasa lebih langsing dan keren".
Film ini sudah pasti masuk nominasi berbagai kategori dalam Academy Awards tahun depan: sutradara, skenario, film, pemeran utama, dan pemeran pendukung. Skenario yang sangat matang dengan dialog yang cerdas mampu membangun karakter Mark Zuckerberg, si jenius yang dingin, acuh tak acuh, tapi sesungguhnya menyimpan rasa kasih sayang kepada Erica. Dia hanya tak tahu bagaimana membuang kemarahannya. Mark dalam film ini memang tak selalu tampil positif, karena dia bisa menjadi seorang lelaki yang licin, yang tak peduli dengan loyalitas kawan.
Memang ada kontradiksi karakter Mark dalam film ini. Tokoh Mark Zuckerberg dalam hidup nyata mengaku tak pernah tertarik bergabung dengan kelompok eksklusif kampus Harvard. Dan saya percaya pernyataan itu karena karakter seperti Mark tak membutuhkan pengakuan kelompok-kelompok elitis yang hanya mengandalkan nama dan uang keluarga.
Tapi penulis skenario Aaron Sorkin (A Few Good Men, The American President, Charlie Wilson's War, dan serial terkenal The West Wing) merasa membutuhkan sebuah alasan kuat bagi karakter ini untuk membangun pertengkaran yang hebat antara Mark dan sang kekasih. Kegiatan kelompok Phoenix sengaja dibuat sebagai kontras bagaimana kelompok elite itu beroperasi di kampus dan bagaimana mahasiswa geng komputer seperti Mark melekat dengan layar laptop dan membangun dunia sendiri.
Kehebatan lain adalah tampilnya Justin Timberlake sebagai seorang lelaki flamboyan, pencari investor yang gemar pesta, narkoba, dan perempuan. Timberlake menampilkan sosok Sean Parker dengan tepat dan pas, sehingga kita tak lagi melihat dia sebagai seseorang dalam industri musik.
Namun yang paling menonjol dari seluruh film ini tentu saja Jesse Eisenberg, yang berhasil menampilkan seorang Mark Zuckerberg, mahasiswa keriting yang sesekali hanya mengenakan sandal, yang luar biasa cerdas, arogan, dan tak terlalu peduli dengan tata krama (itulah sebabnya agak aneh jika karakter seperti ini ingin betul masuk kelompok eksklusif yang kerjanya lebih banyak berpesta dan mengorganisasi ritual yang dungu).
Film The Social Network mengakhiri 2010 dengan bukti: dua nama besar seperti David Fincher dan Aaron Sorkin justru bisa kimpoi dan menghasilkan karya emas.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 08 November 2010)
Sutradara: David Fincher
Skenario Aaron Sorkin, Ben Mezrich (buku)
Pemain: Jesse Eisenberg, Andrew Garfield, Justin Timberlake
DVD film " Social Network " telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ] ]
REVOLUSI dunia maya ini dimulai dari hati yang pecah berkeping-keping.
Di sebuah malam yang sial, Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg), mahasiswa jenius Universitas Harvard, bertengkar dengan sang pacar, Erica Albright (Rooney Mara). Mark melemparkan puluhan topik secara acak dan berbicara dengan cepat, dengan bola mata yang tak terfokus pada lawan bicaranya. Erica, mahasiswa yang tak kalah cerdas, dengan tangkas membalas semua celotehan Mark. Tapi lama-kelamaan Erica jengkel. Mark sungguh obsesif ingin bergabung dengan salah satu final club (kelompok sosial di kampus yang eksklusif khusus untuk mahasiswa lelaki). Erica tak tahan. Posisi kelompok eksklusif yang sudah berabad usianya itu kini sudah dikritik tidak hanya karena eksklusifnya, tapi juga karena kegiatan-kegiatannya yang diskriminatif. Bagi Erica, mahasiswa sejenius Mark tak perlu bergabung dengan kelompok konyol itu. Erica memutuskan hubungan mereka saat itu juga dan meninggalkan Mark yang tercengang.
Meski pasangan itu terlihat sama-sama pandai, ternyata tingkat kematangan emosi Mark masih labil. Begitu dia dicampakkan, kepingan hatinya bertebaran di lorong-lorong kampus Harvard. Dan setibanya di kamar asrama, dia menghajar mantan kekasihnya melalui Internet dengan kalimat kasar seperti, "Erica adalah seorang bitch (anak anjing) berdada rata...."
Tak cukup menghina mantan kekasih, Mark menciptakan permainan Facemash yang mengundang siapa saja untuk memilih dan menyusun nama-nama perempuan di kampus sesuai dengan seberapa cantik dan seksinya mereka. Kemampuan Mark untuk bisa menembus, mengupas, dan menggebrak, atau istilahnya dalam dunia maya "hacking", ke server kampus menggegerkan kampus Harvard. Para mahasiswi dan dosen murka oleh permainan Mark. Dia dipanggil dan diinterogasi otoritas kampus dan diganjar hukuman akademis enam bulan. Artinya, jika selama enam bulan itu melakukan hal yang sama, Mark akan dikeluarkan.
Tapi, untuk seorang jenius seperti Mark, ancaman itu tak membuatnya gentar. Kalimatnya kepada pihak keamanan Internet dan intranet kampus Harvard bahwa "harus kau akui, saya berhasil merobek benteng pertahanan kalian" membuat para dosen terdiam. Itu memang benar.
Hanya dalam bilangan beberapa menit, Mark menjadi mahasiswa yang namanya keren dan terkemuka di kampus Harvard. Perempuan mulai melirik, meski dia tetap dingin dan asyik dengan dunianya sendiri. Tiga mahasiswa senior dari kalangan elite, si kembar Cameron dan Tyler Winklevoss (keduanya diperankan oleh Armie Hammer) dan Divya Narendra (Max Minghella), menyadari nilai kemampuan sang jenius. Kuliah teknologi informasi yang diikuti Mark terlalu mudah hingga sang dosen membiarkan Mark meninggalkan kelas kapan saja. Trio Winklevoss dan Divya Narendra menawari Mark menciptakan program bernama HarvardConnection, yang memungkinkan mahasiswa Harvard berkenalan dan berkawan di dunia maya (mengingat kampus Harvard luar biasa gigantik). "Mereka yang ingin berkenalan cukup mengajukan request, dan yang diminta tinggal menekan tombol approve atau decline," kata Cameron.
Tentu saja kita mengenal ini sebagai cikal-bakal Facebook yang kini sudah mendunia. Tapi saat itu trio Winklevoss dan Narendra hanya berniat mencari cewek sesama Harvard belaka. Mark menyatakan bersedia bergabung dalam proyek mereka. Namun diam-diam Mark mengembangkan program itu sendirian, dan mengajak Eduardo Saverin (Andrew Garfield) untuk mencemplungkan US$ 1.000 sebagai investasi awal. Saverin setuju dan dia diangkat sebagai mitra bisnis. Maka ide awal tentang HarvardConnection yang masih mentah dimatangkan oleh Mark menjadi The Facebook. Demikianlah nama awal jaringan sosial yang kini sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari itu.
Dalam waktu singkat, The Facebook menjadi bintang kampus-kampus elite Amerika Serikat selain Harvard. Tentu saja itu membuat trio Winklevoss-Narendra berang. Tuntutan perdata mereka itulah yang membuka film ini. Sutradara David Fincher (Se7en, Zodiac) dengan sigap bolak-balik antara adegan pengadilan perdata dan kesaksian Mark tentang bagaimana Facebook bisa berkembang menjadi fenomena.
Mark menghadapi dua tuntutan yang berbeda: dari trio Winklevoss-Narendra, yang merasa punya andil dalam pembentukan Facebook, dan dari mitra bisnisnya sendiri, Eduardo Saverin, yang belakangan disingkirkan dari kepemilikan saham setelah Mark bertemu dengan Sean Parker (Justin Timberlake dengan penampilan yang keren), yang mencarikan investor untuk Facebook. Adalah Parker yang mengusulkan agar Mark membuang kata "The" agar "Facebook terasa lebih langsing dan keren".
Film ini sudah pasti masuk nominasi berbagai kategori dalam Academy Awards tahun depan: sutradara, skenario, film, pemeran utama, dan pemeran pendukung. Skenario yang sangat matang dengan dialog yang cerdas mampu membangun karakter Mark Zuckerberg, si jenius yang dingin, acuh tak acuh, tapi sesungguhnya menyimpan rasa kasih sayang kepada Erica. Dia hanya tak tahu bagaimana membuang kemarahannya. Mark dalam film ini memang tak selalu tampil positif, karena dia bisa menjadi seorang lelaki yang licin, yang tak peduli dengan loyalitas kawan.
Memang ada kontradiksi karakter Mark dalam film ini. Tokoh Mark Zuckerberg dalam hidup nyata mengaku tak pernah tertarik bergabung dengan kelompok eksklusif kampus Harvard. Dan saya percaya pernyataan itu karena karakter seperti Mark tak membutuhkan pengakuan kelompok-kelompok elitis yang hanya mengandalkan nama dan uang keluarga.
Tapi penulis skenario Aaron Sorkin (A Few Good Men, The American President, Charlie Wilson's War, dan serial terkenal The West Wing) merasa membutuhkan sebuah alasan kuat bagi karakter ini untuk membangun pertengkaran yang hebat antara Mark dan sang kekasih. Kegiatan kelompok Phoenix sengaja dibuat sebagai kontras bagaimana kelompok elite itu beroperasi di kampus dan bagaimana mahasiswa geng komputer seperti Mark melekat dengan layar laptop dan membangun dunia sendiri.
Kehebatan lain adalah tampilnya Justin Timberlake sebagai seorang lelaki flamboyan, pencari investor yang gemar pesta, narkoba, dan perempuan. Timberlake menampilkan sosok Sean Parker dengan tepat dan pas, sehingga kita tak lagi melihat dia sebagai seseorang dalam industri musik.
Namun yang paling menonjol dari seluruh film ini tentu saja Jesse Eisenberg, yang berhasil menampilkan seorang Mark Zuckerberg, mahasiswa keriting yang sesekali hanya mengenakan sandal, yang luar biasa cerdas, arogan, dan tak terlalu peduli dengan tata krama (itulah sebabnya agak aneh jika karakter seperti ini ingin betul masuk kelompok eksklusif yang kerjanya lebih banyak berpesta dan mengorganisasi ritual yang dungu).
Film The Social Network mengakhiri 2010 dengan bukti: dua nama besar seperti David Fincher dan Aaron Sorkin justru bisa kimpoi dan menghasilkan karya emas.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 08 November 2010)
Cerita Eksotisme Tiga Kota
DVD Film ini telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEOJudul: EAT PRAY LOVE[ Sale dan Rental
Sutradara: Ryan Murphy
Berdasarkan novel karya Elizabeth Gilbert
Skenario: Jennifer Salt dan Ryan Murphy
Pemain: Julia Roberts, Javier Bardem, James Franco, Christine Hakim, Hadi Subiyanto
SETELAH tersiksa selama 141 menit menyaksikan seorang perempuan bernama Elizabeth Gilbert yang konon "mencari diri" ke tiga negara, mari kita mencoba bersikap adil. Barangkali saja novel biografis wartawan dan novelis New York yang berada di daftar New York Times Bestseller selama 150 pekan itu akan lebih menarik daripada filmnya yang sungguh mengecewakan. Barangkali.
Tapi ternyata sutradara Ryan Murphy memang setia kepada novel yang menjadi "buku sakti" banyak perempuan di seantero dunia ini. Artinya, film dan novel ini sama-sama melelahkan dan menjengkelkan. Ceritanya begini.
Elizabeth Gilbert, seorang wartawan dan penulis travel, seperti memiliki segalanya: suami yang tampan, apartemen yang nyaman di New York, dan sekelompok kawan yang setia menemaninya. Tapi, suatu malam, kita melihat Gilbert terisak-isak di atas lantai kamar mandinya. Dia tak ingin lagi terikat dalam perkimpoian. Lho, kenapa sih? Baik di dalam film maupun novel, kita tak pernah tahu apa yang menyebabkan Liz Gilbert ingin meninggalkan perkimpoiannya (bukan karena orang ketiga, bukan pula karena drama-drama besar).
Di dalam kata pengantar bukunya, Liz Gilbert mengatakan tak akan mengungkap problem pernikahannya kepada publik, dan hampir semua tokoh dalam novelnya dia ubah namanya. Tentu kita paham. Tapi baik Liz maupun sutradara Ryan Murphy tak berhasil menyiasati cerita ini agar kita merasa terlibat dalam film.
Setelah perceraian yang sulit-karena Stephen (Billy Crudup) tak kunjung ingin melepas sang istri-Liz bertemu dengan seorang aktor amatir, David Piccolo (James Franco), yang tampil dalam drama yang ditulis Liz. Hubungan yang panas, tapi jelas sebuah pelarian, ini berakhir tanpa kejelasan. Liz memberikan alasan kepada sahabatnya, Delia Shiraz (Viola Davis), bahwa "seumur hidup saya tak pernah merasakan sendirian, tanpa lelaki."
Liz memutuskan untuk pergi ke Italia, India, dan Indonesia (tepatnya: Bali). Pembaca novelnya akan tahu-dan cemburu-bahwa penerbit buku Liz Gilbert bersedia membiayai seluruh perjalanan, lengkap dari biaya pesawat, hotel, sampai tetek-bengek spa dan makanan serta minuman. Siapa yang tak mau bepergian gratis ke tiga negara eksotis selama setahun untuk "mencari diri"? Hanya orang gila.
Nah, karena Liz Gilbert bukan orang gila, tentu saja dia pergi ke Roma, menikmati pizza di Napoli dan spageti Roma, dan menikmati bulan di langit Roma dari teras apartemennya. Setiap kali bibir Liz menyedot saus spageti, atau sengaja meniru nada bicara orang Italia sembari mempermainkan tangan ke udara, kita mengenali gaya nyeleneh Ryan Murphy (yang kita kenal dengan keberaniannya dalam serial Glee dan Nip/Tuck untuk melawan arus dan bereksperimen dengan penyajian yang berbeda). Tapi hanya sebatas gaya. Gaya nakal dan "berisik" itu berhenti di segmen Italia. Ketika tokoh Liz Gilbert melangkah ke sebuah ashram di India, sutradara Ryan Murphy seperti kehilangan pegangan.
Apa yang sebetulnya hendak dia kisahkan dalam segmen India ini? Ingin memperlihatkan bagaimana Liz belajar berdoa? Gagal. Kita tak yakin apakah Liz memang menemukan pencerahan melalui mantra yang dipelajarinya atau dia hanya mengikuti arus warga ashram belaka. Bahwa Liz berkenalan dengan beberapa sosok di India? Pertemuannya dengan tokoh Richard dari Texas (Richard Jenkins) sebetulnya menarik. Richard mempunyai sejarah buruk dan Liz sibuk mencari diri. Mereka bertukar cerita, meski ternyata transaksi masa gelap mereka toh tak cukup menggugah kita. Alasannya, lagi-lagi, kita tak cukup diberi alasan untuk mendalami problem pribadi Liz.
Di segmen Bali, kita sedikit bernapas lega bukan karena sinematografi yang merekam jelitanya Ubud-hingga para pejabat tinggi Indonesia menyempatkan diri menyaksikan premiere film ini-melainkan karena Ryan Murphy memberikan ruang yang lega pada tafsir kejiwaan Liz. Dia menemui sesepuh Bali bernama Ketut Liyer (Hadi Subiyanto, yang sungguh bersinar), seseorang yang kemudian menjadi mentor Liz Gilbert; seseorang yang bisa mencungkil rasa humor perempuan yang semula selalu tampak sendu dan muram; seseorang yang mengajari Liz untuk membuat keseimbangan dalam hidup. Kita asyik melihat sosok Ketut Liyer yang jenaka, jujur, dan enteng tanpa beban, hingga kita lupa bahwa di segmen yang sama ada aktris Christine Hakim (memerankan tokoh Wayan, seorang ibu tunggal yang menjadi sahabat Liz Gilbert), ada Javier Bardem (menjadi Filipe, tempat hati Liz berlabuh untuk selama-lamanya), dan beberapa tokoh minor lainnya. Ketut Liyer alias Hadi Subiyanto jadi bintang. Dan Julia Roberts seperti sengaja membiarkan Hadi Subiyanto menjadi scene-stealer segmen ini.
Meski ada beberapa bagian yang tersaji dengan bagus, film yang berdurasi 140 menit ini secara keseluruhan menyiksa penonton. Kita tak kunjung diberi pemahaman kenapa ada perempuan yang begitu manja dan mudah sekali meninggalkan tiga lelaki dan segala miliknya; kenapa sepanjang film atau sepanjang buku, dia tak henti-hentinya mengeluh tak berkesudahan. Untung saja Julia Roberts adalah aktris yang enak dilihat dan selalu tampil asyik. Wajahnya selalu ditimpa cahaya, dan dia berhasil menampilkan ekspresi yang tepat. Tapi itu semua tak cukup. Film dengan lokasi yang begitu eksotis dan mahal, dengan deretan pemain dengan nama besar dan sutradara yang namanya sedang menggelegar, sayang sekali mendapatkan skenario yang sangat lemah dan penyutradaraan yang mengecewakan. Judul film Eat Pray Love sebaiknya diganti menjadi Eat Snooze Sleep.
(Dari Majalah TEMPO Edisi 18 Oktober 2010)
Rabu, 24 November 2010
RESENSI FILM -FILM ACTION TERBARU
Inception
Mimpi adalah satu-satunya strata dalam tingkat kesadaran manusia dimana tingkat pertahanannya mencapai level terendah. Oleh karena itu , sebuah ide dapat dengan mudahnya dicuri ataupun ditanamkan kedalam seseorang.
Setidaknya itu adalah pesan yang ingin disampaikan melalui film berdurasi nyaris 2.5 jam ini.
Dom Cobb adalah seorang pencuri , namun ia tidak mencuri barang. yang ia curi adalah Ide dari seseorang disaat mereka sedang tertidur. Dom mencoba masuk kedalam mimpi seseorang dan mencuri ide-ide mereka, karena ia tahu pada saat mereka tertidur itulah sebuah ide dapat dengan mudahnya diambil.
Bagaimana dengan menanamkan ide?
Ketika ditawarkan oleh Saito , Dom menolak . Karena ia tahu dengan pasti hal itu tidak mungkin. Tapi Saito mengiming-imingi Dom untuk memutihkan namanya supaya bisa kembali kepelukan anak-anaknya. tentu saja Dom setuju.
untuk itu ia menemui Ariadne , yang sangat lihai membangun skenario mimpi sehingga aman untuk dilakukan insepsi ide.Setidaknya ada 3 Level Mimpi didalam mimpi yang Ariadne rancang. dan kesemua tim Dom ikut serta dalam perjalana mimpi ini.
Target yang akan disusupi mimpinya adalah Fischer , pewaris perusahaan besar saingan Saito . Keinginan Saito hanya satu : menanamkan ide Fischer untuk membangun usahanya sendiri, bebas dari bayang-bayang sang ayah.
Namun Dom memiliki masalah dengan kemampuan perancangan Mimpinya. Ia memiliki masa lalu yang cukup menyakitkan sehingga setiap mimpi yang ia rancang selalu dibangun dari kenangan. Padahal hal itu dilarang, karena ketika terbangun seseorang akan sulit membedakan realita dan mimpi . Apa jadinya jika Permasalahan Dom berbentur dengan pekerjaan insepsi , dan ternyata , ada loh pasukan penjaga agar ide tidak tercuri disaat kita sedang tertidur.
Unik..
Ini adalah satu film yang memiliki konsep sangat unik dan dihadirkan sesederhana mungkin sehingga penonton tidak perlu berkerut dahi untuk mengerti . Spesial efek yang dihadirkan juga cukup memanjakan mata , terutama adegan pelipatan dunia yang dilakukan Ariadne.
untuk segi Action , pertarungan disaat zero gravity di hotel bisa jadi nilai tersendiri untuk film ini.
dan yang lebih mencengangkan lagi , meskipun film ini dikategorikan untuk Dewasa , nyaris tidak ada adegan ranjang atau adegan ciuman logh..(atau mungkin sudah banyak disensor ya?)
Happy Watching
Klik Link ini untuk melihat Trailers film INCEPTION http://movies.yahoo.com/movie/1810099246/video
THE SORCERER'S APPRENTICE', Sang Penyihir dan Muridnya
The Sorcerer's Apprentice |
Pemain: Nicolas Cage, Jay Baruchel, Alfred Molina
Siapa bilang di zaman modern seperti sekarang ini sihir sudah tidak ada lagi. Para penyihir masih tetap ada meski mereka selalu berusaha menutupi identitas mereka yang sesungguhnya. Balthazar Blake (Nicolas Cage) adalah salah satu dari para penyihir yang masih tersisa.Meski Balthazar memiliki ilmu yang tinggi, ia tetap tidak mampu melindungi Manhattan, kota tempat tinggalnya dari Maxim Horvath (Alfred Molina), musuh besar Balthazar. Tak seperti Balthazar yang cenderung menggunakan kemampuannya untuk tujuan baik, Maxim lebih memilih menggunakan kekuatannya untuk memenuhi hasrat pribadinya.
Sadar bahwa ia pasti kalah bila bertempur langsung dengan Maxim, Balthazar lantas mencari murid yang bisa membantunya mengalahkan Maxim dan kawan-kawannya. Pilihan kemudian jatuh pada Dave Stutler (Jay Baruchel), seorang pemuda biasa yang ternyata memiliki potensi. Dave awalnya merasa tak sanggup memenuhi harapan Balthazar namun saat ia sadar kalau ia tak punya pilihan maka Dave pun berusaha sekuat tenaga mempelajari ilmu sihir yang diajarkan Balthazar. (kpl/roc)
Klik Link ini untuk melihat Trailers film The Sorcerer's Apprentice http://movies.yahoo.com/movie/1810073953/video
Resident Evil 3D : Afterlife
Mila Jovovich in Resident Evil 4 (Afterlife) |
Sekilas mengingatkan , Film ini merupakan sekuel ke-4 dari game Resident Evil. Cerita dasar adalah petualangan Alice melawan zombie yang disebabkan T-virus. Pada Sekuel sebelumnya , Alice berhasil menyelamatkan beberapa survivor dan juga menemukan kloningan dirinya dalam jumlah banyak.
Resident Evil : Afterlife disuguhkan dalam dua jenis tayangan, yang 3D dan yang biasa. Bagi resensi film , tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Scene awal berkisar di Tokyo (walaupun tidak ada petunjuk bahwa film berlokasi disitu kecuali figuran2 yang mirip orang jepang). Seorang gadis berdiri ditengah hujan,tanpa ada gerakan berarti.
Spooky , itu kesan pertama yang akkan didapatkan ketika melihat scene awal.Apa ini mewakili film secara keseluruhan? Belum tentu!
Alur kemudian mengalir ke Alice mengobrak abrik markas Umbrella di daerah Tokyo . Disini mungkin para penonton akan bingung, kenapa Alice bisa menjadi banyak?Jawabannya harus menonton film sebelumnya :D.
pada scene ini , kita akan disuguhi action yang cukup menghibur. tentunya tidak jauh2 dari efek slow motion ala matrix.
Alice diceritakan menghancurkan pesawat milik umbrella yang dikendarai oleh Albert. Sebelum pesawat jatuh , Albert berhasil menetralisir T-Virus pada tubuh alice.
Selesai?
Tidak... ini belum ada 1/4 dari film yang berdurasi lebih dari 2 jam.
Alice kemudian tersesat kesuatu daerah bernama Arcadia , dimana dikatakan masih ada survivor dan bertemu dengan Claire Redfield. Sayangnya Claire mengalami lupa ingatan... Alice dan Claire kemudian terbang menuju sebuah gedung ditengah kota dan juga dalam kepungan Zombie, disini mereka menemukan Chriss Redfield.
dari situ mereka berjuang melawan para zombie . Tunggu, sepintas ada cameo Nemesis... tapi scenenya tidak ada 10 menit... mengecewakan...!
Bagi yang mengharapkan alur cerita menarik, harap kecewa , karena film ini tidak mengutamakan alur. Hanya Action para survivor melawan zombie yang disajikan.
Sepertinya film ini akan dibuat sequel lanjutannya... karena ending - seperti yang kemarin - dibuat menggantung.
Happy Watching ^^
Klik Link ini untuk melihat Trailers film Resident Evil 4 (Afterlife) http://movies.yahoo.com/movie/1810121187/video
Judul: MACHETE
Sutradara: Robert Rodriguez
Pemain: Danny Trejo, Robert de Niro, Steven Seagal, Jessica Alba, Steven Seagal
Machete datang, Machette melibas para penjahat dengan pisau dan kelewang. Siapakah Machete? Siapakah lelaki bertubuh seperti pohon beringin itu, tinggi besar dan seluruh uratnya seperti ingin melincungi siapa saja yang dizalimi? Tak ada yang mengetahui nama sebenarnya. Tetapi mereka mengenalnya sebagai Machette ,seorang veteran agen Federale yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar, tetapi pandai menggunakan pisau dan kelewang untuk menghajar kejahatan. Machete diperankan Danny Trejo, aktor kesayangan sutradara Rodriguez (yang selalu tampil dalam film-film Rodriguez), aktor berleher besar berwajah keras usia 66 tahun yang toh masih diperlakukan seperti lelaki yang diinginkan para perempuan seksi. Susah percaya? Tontonlah. Ceritanya begini:
Syahdan di perbatasan Meksiko dan AS terjadi sebuah peperangan dahsyat. Setiap seorang atau sekelompok imigran gelap menyelinap, serentetan peluru akan menghajar tubuh mereka. Dengan konsep komikal film-film B tahun 1970-an, sutradara Rodriguez memperkenalkan tokoh-tokoh yang seolah dari dunia nyata, tetapi tampil seperti sosok komik dengan dialog satu kalimat yang diucapkan antara gumaman macho dan pelintiran kumis. Tokoh Don (Don Johnson, ya Don Johnson yang kita kenal melalui serial Miami Vice itu kini sudah gayek kini berperan sebagai vigilante keji), adalah pimpinan vigilante yang menjaga perbatasan AS-Meksiko dan menembak para imigran gelap karena iseng dank arena kebenciannya pada orang Meksiko.
Kemudian kita melihat sosok Senator McLaughlin (Robert de Niro) yang ikut menembak korbannya yang terakhir. Lalu menyeringai. Semakin film melaju, sutradara Rodriguez tampak semakin asyik menambah-nambah sosok keji lainnya, untuk menambah muncratan darah dan kelebatan kelewang. Misalnya tangan kanan Senator McLaughlin , Booth (Jeff Fathey) yang menjebak Machete. Dia menyewa Machete untuk membunuh sang Senator, tetapi Booth sendiri sengaja menggagalkan upaya itu. Machete kemudian menjadi orang yang paling dicari di dua negara. Tambah lagi, raja narkoba Torrez (Steven Seagal, ya Stevel Seagal yang kita kenal selalu berperan sebagai pahlawan film laga kini berperang sebagai penjahat keji juga) juga punya dendam pada Machete, satu-satunya lelaki di dunia yang berani
menghadapinya.
Jangan lupa, "pahlawan" bawah tanah selalu punya pendukung fanatic, terutama para perempuan cantik seksi. Pertama, ada She atau Che (Michelle Rodriguez), aktivis bawah tanah yang menyamar menjadi penjual taco keliling. Ada Sartana (Jessica Alba), pegawai imigrasi yang mengawasi mondar-mandirnya para imigran gelap (tapi kemudian menyeberang menjadi pembela mereka); lalu ada April (Lindsay Lohan, ya Lindsay Lohan yang biasanya kita baca di media gosip itu) , anak puteri Booth, yang tampil sebagai remaja perempuan binal yang berani melakukan eksperimen seksualitas apapun, termasuk tidur bersama gayek berusia 66 tahun ini (bagian ini, anda tak perlu saksikan adegannya).
Di luar kegilaan imajinasi Rodriguez ini, sebetulnya plotnya adalah plot problem sosial yang klasik. Yang membedakannya dengan sineas lain, seandainya plot ini dipakai oleh sutradara macam Steven
Sodenberg,misalnya? Rodriguez sengaja bermain di dunia hiperbolisme. Dia sengaja memuncratkan berember-ember saus tomat ke lensa kamera; dia sengaja melemparkan perempuan-perempuan telanjang yang wara-wiri begitu saja; dia sengaja menampilkan lelaki macho dengan suara meraung-raung sekaligus dungu hingga kita tahu, kita berada di dunia komik hiperbolik Rodriguez di mana hal-hal mustahil menjadi bagian kehidupan keseharian.
Jika kita mampu meletakkan diri kita pada dunia liar lengkap dengan "main-main" ala Rodriguez, maka segalanya, tak masalah. Nikmatilah film ini untuk saluran kejengkelan kita pada politisi busuk yang tak bisa kita eksekusi semudah Machete menebas leher mereka.
Klik Link ini untuk melihat Trailers film Machete http://movies.yahoo.com/movie/1810099036/video
Semua DVD Film ini telah tersedia di DREAM VISION HOME VIDEO [ Sale and Rental ]
Langganan:
Postingan (Atom)